Jumat, 17 Juni 2011

MEMBERI RASA AMAN


Pemimpin, baru bisa dikatakan jujur manakala ia mampu memberi rasa aman. Sikap jujur yang dalam bahasa Arab sering dikenal dengan al-amiin, memang erat kaitannya dengan pengertian aman.
Secara bahasa al-amiin berasal dari kata aamina-ya’manu-amaanatan yag berarti merasa aman atau memberi kepercayaan. Seorang pemimpin baru disebut amiin manakala ia bisa memberi rasa aman. Inilah gelar yang disandang Rasulullah SAW jauh sebelum dirinya diangkat menjadi Nabi.
Kata al-amiin berdekatan juga dengan kata aamana-yu’minu-iimaanan yang berarti keyakinan atau keimanan. Jadi kata aamanah (kepercayaan), amiin (jujur) dan iimaan (keimanan) adalah rangkaian kata yang tak bisa dipisahkan. Pada tataran realitas, kepercayaan adalah buah kejujuran. Sedangkan kejujuran adalah bagian terpenting dari keimanan.
Namun ada perbedaan mendasar antara sikap jujur dengan amanah. Seseorang yang mengaku dirinya benar mendapatkan titipan uang, mungkin bisa disebut jujur. Tapi ketika ia tak mampu mengembalikan uang tepat waktunya, atau ia gunakan untuk keperluan tidak pada tempatnya, tindakannya tak bisa dinamakan amanah. Sikap amanah berkaitan dengan kepercayaan sedangkan jujur berkaitan dengan ucapan.
Bagi seorang pemimpin, kejujuran dan sikap amanah harus seiring. Sekali berbohong, ia akan mencatat sejarah sebagai pendusta. Inilah yang menjelaskan mengapa jujur begitu lengket dengan kehidupan para Nabi. Diantara alasan terpenting diterimanya Nabi Musa oleh ayah dua wanita yang ditolongnya, selain qawiyyun (kuat), ia juga amiin (jujur).
 Begitupun Nabi Yusuf. Diangkatnya dirinya sebagai orang terdekat Raja Mesir, bukan karena Nabi Yusuf makiin (berkedudukan tinggi) tapi juga amiin (jujur).
Sikap jujur harus dilatih sejak dini. Hanya mereka yang biasa berjalan di tanah datar yang sanggup mendaki bukit. Hanya mereka yang biasa jujur yang akan mampu menghalau kemunafikan.

Dari Buletin Jum’at Al-Maidah
15 Rajab 1432 H / 17 Juni 2011 M

Rabu, 15 Juni 2011

SI BANYAK SUJUD


Ali bin Husain memang masih belia namun masyarakat Madinah boleh berbangga. Kota itu telah mendapatkan pemuda yang tiada tandingan dari Bani Hasyim.
Karena keutamaannya itulah, Ali bin Husain mendapat gelar Zainal Abidin (hiasan para ahli ibadah).
Sedemikian popular gelar itu hingga kaumnya melupakan nama aslinya. Jika sujud, Ali Zainal Abidin sangat lama karena tenggelam dalam keasyikan bersujud dihadapan ALLAH SWT. Karena itu, penduduk Madinah memberinya gelar as-Sajjad (si banyak sujud).
Dalam hal kesucian, kebersihan jiwa dan kemurnian hatinya, ia telah mencapai tingkatan yang tinggi hingga mendapat gelar az-Zakiy (yang berhati suci). Zainal Abidin meyakini bahwa jantung ibadah adalah do’a. Ia sering berdo’a sambil bergantung pada tirao Ka’bah.
Suatu ketika Thawus bin Kaisan pernah melihatnya berdiri dibawah baying-bayang Baitullah, meratap penuh kegelisahan seakan-akan sedang berada diambang kehancuran. Ali Zainal Abidin menagis tersedu-sedu dab berdo’a meminta perlindungan kepada ALLAH SWT. Thawus mendekatinya dan berkata “Wahai cucu Rasulullah, telah melihatmu meratapi keadaan dirimu, padahal engkau mempunyai tiga keutamaan, yang aku yakin itu akan mengamankanmu dari ketakutan”.
Lalu Ali Zainal Abidin bertanya “Apa tiga keutamaan itu?”
Thawus menjawab “Pertama engkau adalah cucu Rasulullah. Kedua engkau mendapat syafaat dari kakekmu. Ketiga engkau mendapat rahmat ALLAH”.
Ali menjawab, “Sekalipun aku keturunan Rasulullah, namun itu itdak menjadikanku aman dari siksa ALLAH setelah aku mendengar firman ALLAH : “Maka Sangkakala ditiup, tidak ada lagi pertalian keturunan diantara mereka pada hari kiamat itu”. (QS. Al Mukmin : 101).
Adapun tentang syafaat kakekku kepadaku, ALLAH menegaskan dalam firman-Nya : “Yaitu mereka tidak akan memberikan syafaat melainkan kepada orang yang diridhai ALLAH” ( QS Al-Anbiya : 28 ).
Dan tentang rahmat ALLAH itu, akan diberikan kepada orang yang selalu berbuat kebaikan, sebagaimana firman-Nya : “Sesungguhnya rahmat ALLAH amat dekat dengan orang orang yang berbuat baik” ( QS. Al-A’raf:56 ).

*******

Disadur dari Buletin Jum’at Al-Maidah
9 Jumadil Akhir 1432 H / 13 Mei 2011

KOBARKAN JIWA PENGORBANAN



Rasulullah SAW menginatkan umatnya, kemiskinan mendekati kekufuran. Betapa seorang muslim menderita kemiskinan mudah menukar akidahnya dengan setumpuk uang datau sekardus mie instant sehingga menjadi murtad. Tak ayal, banyak ulama menganjurkan seorang muslim kaya untuk membantu meringankan penderitaan saudaranya. Kekayaan bukan segalanya, tetapi dengan kekayaan membantu mengatasi persoalan kemuskinan harta umat.
Adanya jihad harta sendiri diharapkan sendiri diharapkan sebagai proses tawazun (keseimbangan). Menginfakkan harta berapapun jumlahnya merupakan salah satu cara mengurangi kemiskinan. Keyakinan itu harus ditanamkan sebagai upaya kemandirian dan menjauhkan diri dari belas kasihan orang lain.
Mengapa jihad harta sangat penting? Keburukan semakin mengeksistensikan diri, didukung dana berlimpah. Tak jarang pendukung kebathilan berani mengeluarkan biaya besar. Berbagai proyek menghancurkan Islam diberikan dana besar. Akktifitas mencuci otak melalui pornografi, kristenisasi, terorisme dan narkoba mampu merajalela. Jika seorang muslim miskin harta, potensi kebathilan gagal dikalahkan kebaikan. Dampak lebih jauh melahirkan generasi peminta minta dan tidak mandiri.
Fakta sekarang berbicara, kemiskinan dekat dengan kekafiran. Betapa mudahnya seorang muslim miskin harta menjual keimanannya. Harga diri sebagai pengikut Islam tergadaikan sekardus mie, sembako dan uang ratusan ribu.
ALLAH SWT berfirman : “Sesungguhnya orang-orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan ALLAH. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan. Dan dalam neraka Jahanamlah oaring-orang kafir itu dikumpulkan”. ( QS. Al-Anfal:36 ).
Semoag ALLAH SWT memberikan kelimpahan rezeki bagi kita. Dengan rezeki ini, kitya bias menginfakkan sebagai amaliyah dihadapan ALLAH SWT kelak dan mampu meringankan penderitaan saudara kita. Sehingga kemiskinan dan derita saudara kita dapat berkurang.
************************************************************************

Disadur dari Buletin Jum’at Al Maidah
6 Rabiul Akhir 1432 H / 11 Maret 2011